Saturday, 13 February 2016

Masa Pemerintahan Hindia Belanda II



Masa Pemerintahan Hindia Belanda II

masa pemerintahan hindia belanda 2

Hindia Belanda

Tahun 1816 Raffles mengakhiri pemerintahannya di Hindia. Pemerintah Inggris sebenarnya telah menunjuk John Fendall untuk menggantikan Raffles. Tetapi pada tahun 1814 sudah diadakan Konvensi London. Salah satu isi Konvensi London adalah Inggris harus mengembalikan tanah jajahan di Hindia kepada Belanda. Dengan demikian pada tahun 1816 Kepulauan Nusantara kembali dikuasai oleh Belanda. Sejak itu di mulailah Pemerintahan Kolonial Belanda.

Komisaris Jenderal

Setelah kembali ke tangan Belanda, tanah Hindia diperintah oleh badan baru yang diberi nama Komisaris Jenderal. tiga orang, yakni: Cornelis Theodorus Elout (ketua), Arnold Ardiaan Buyskes (anggota), dan Alexander Gerard Philip Baron Van der Capellen (anggota). Sebagai rambu-rambu pelaksanaan pemerintahan di negeri jajahan Pangeran Willem VI mengeluarkan Undang-Undang Pemerintah untuk negeri jajahan (Regerings Reglement) pada tahun 1815.

Salah satu pasal dari undang-undang tersebut menegaskan bahwa pelaksanaan pertanian dilakukan secara bebas. Hal ini menunjukkan bahwa ada relevansi dengan keinginan kaum liberal sebagaimana diusulkan oleh  Dirk van Hogendorp. Berbekal ketentuan dalam undang-undang tersebut ketiga anggota Komisaris Jenderal itu berangkat ke Hindia Belanda. Ketiganya sepakat untuk mengadopsi beberapa kebijakan yang pernah diterapkan oleh Raffles.

Ketika melihat kenyataan di lapangan, Ketiga Komisaris Jenderal itu bimbang untuk menerapkan prinsip-prinsip liberalisme dalam mengelola tanah jajahan di Nusantara. Hindia dalam keadaan terus merosot dan pemerintah mengalami kerugian. Kas negara di Belanda dalam keadaan menipis. Mereka sadar bahwa tugas mereka harus dilaksanakan secepatnya untuk dapat mengatasi persoalan ekonomi baik di Tanah Jajahan maupun di Negeri Induk. Dengan mempertimbangkan amanat UU Pemerintah dan melihat kenyataan di lapangan serta memperhatikan kaum liberal dan kaum konservatif.  Komisaris Jenderal sepakat untuk menerapkan kebijakan jalan tengah.

Maksudnya, eksploitasi kekayaan di tanah jajahan langsung ditangani pemerintah Hindia Belanda agar segera mendatangkan keuntungan bagi negeri induk, di samping mengusahakan kebebasan penduduk dan pihak swasta untuk berusaha di tanah jajahan. Tetapi kebijakan jalan tengah ini tidak dapat merubah keadaan. Akhirnya pada tanggal 22 Desember 1818 Pemerintah memberlakukan UU yang menegaskan bahwa penguasa tertinggi di tanah jajahan adalah gubernur jenderal.Van der Capellen kemudian ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal. Ia ingin melanjutkan strategi jalan tengah. Tetapi kebijakan Van der Capellen itu berkembang ke arah sewa tanah dengan penghapus peran penguasa tradisional (bupati dan para penguasa setempat).

Kemudian Van der Capellen juga menarik pajak tetap yang sangat memberatkan rakyat. Timbul banyak protes dan mendorong terjadinya perlawanan. Kemudian ia dipanggil pulang dan digantikan oleh Du Bus Gisignies. Ia berkeinginan membangun modal dan meningkatkan ekspor. Tetapi program ini tidak berhasil karena rakyat tetap miskin sehingga tidak mampu menyediakan barang-barang yang diekspor. Yang terjadi justru impor lebih besar dibanding ekspor. 

Hal ini menjadikan belanda rugi,kas negara kosong karena untuk pembiayaan perang diponegoro. Belanda semakin mengalami krisis keuangan

Tanam Paksa

Tanam Paksa

Pemerintah Belanda terus mencari cara bagaimana untuk mengatasi problem ekonomi. Salah satunya pada tahun 1829 seorang tokoh bernama Johannes Van den Bosch mengajukan kepada raja Belanda usulan yang berkaitan dengan cara melaksanakan politik kolonial Belanda di Hindia. Van den Bosch berpendapat untuk memperbaiki ekonomi, di tanah jajahan harus dilakukan penanaman tanaman yang dapat laku dijual di pasar dunia. Sesuai dengan keadaan di negeri jajahan, maka penanaman dilakukan dengan paksa. Mereka menggunakan konsep daerah jajahan sebagai tempat mengambil keuntungan bagi negeri induk. Jawa adalah “gabus tempat Nederland mengapung”. Jadi dengan kata lain Jawa dipandang sebagai sapi perahan. Konsep Bosch itulah yang kemudian dikenal dengan Cultuurstelsel (Tanam Paksa). Raja Willem tertarik serta setuju dengan usulan dan perkiraan Van den Bosch tersebut.Tahun 1830 Van den Bosch diangkat sebagai Gubernur Jenderal baru di Jawa.Secara umum Tanam Paksa mewajibkan para petani untuk menanam tanaman-tanaman yang dapat diekspor di pasaran dunia. Jenis tanaman itu di samping kopi juga antara lain tembakau, tebu, dan nila.    

Secara rinci beberapa ketentuan Tanam Paksa itu termuat pada Lembaran Negara (Staatsblad) Tahun 1834 No. 22. Ketentuan-ketentuan itu antara lain sebagai berikut:


  1. Penduduk menyediakan sebagian dari tanahnya untuk pelaksanaan Tanam Paksa
  2. Tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk pelaksanaan Tanam Paksa tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa
  3. Waktu dan pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman Tanam Paksa tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi
  4. Tanah yang disediakan untuk tanaman Tanam Paksa dibebaskan dari pembayaran pajak tanah
  5. Hasil tanaman yang terkait dengan pelaksanaan Tanam Paksa wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Jika harga atau nilai hasil tanaman ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayarkan  oleh rakyat, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada rakyat
  6. Kegagalan panen yang bukan disebabkan oleh kesalahan rakyat petani, menjadi tanggungan pemerintah
  7. Penduduk desa yang bekerja di tanah-tanah untuk pelaksanaan Tanam Paksa berada di bawah pengawasan langsung para penguasa pribumi, sedang pegawai-pegawai Eropa melakukan pengawasan secara umum
  8. Penduduk yang bukan petani, diwajibkan bekerja di perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari dalam satu tahun


Pelaksanaan Tanam Paksa

Menurut Van den Bosch, pelaksanaan sistem Tanam Paksa harus menggunakan organisasi desa. Yang jelas pelaksanaan Tanam Paksa itu tidak sesuai dengan peraturan yang tertulis. Hal ini telah mendorong terjadinya tindak korupsi dari para pegawai dan pejabat yang terkait dengan pelaksanaan Tanam Paksa.Tanam Paksa telah membawa penderitaan rakyat. Banyak pekerja yang jatuh sakit. Mereka dipaksa fokus bekerja untuk Tanam Paksa, sehingga nasib diri sendiri dan keluarganya tidak terurus. Bahkan kemudian timbul bahaya kelaparan dan kematian di berbagai daerah. Misalnya di Cirebon (1843 - 1844), di Demak (tahun 1849) dan Grobogan pada tahun 1850.

Sementara itu dengan pelaksanaan Tanam Paksa ini Belanda telah mengeruk keuntungan dan kekayaan dari tanah Hindia. Dari tahun 1831 hingga tahun1877 perbendaharaan kerajaan Belanda telah mencapai 832 juta gulden. utang-utang lama VOC dapat dilunasi, kubu-kubu dan benteng pertahanan dibangun. utang-utang lama VOC dapat dilunasi, kubu-kubu dan benteng pertahanan dibangun. Memang harus diakui beberapa manfaat adanya Tanam Paksa,misalnya, dikenalkannya beberapa jenis tanaman baru yang menjadi tanaman ekspor, dibangunnya berbagai saluran irigasi, dan juga dibangunnya jaringan rel kereta api. Beberapa hal ini sangat berarti dalam kehidupan masyarakat.

Sistem Usaha Swasta

Pelaksanaan Tanam Paksa memang telah berhasil memperbaiki perekonomian Belanda. Kemakmuran juga semakin meningkat. Bahkan keuntungan dari Tanam Paksa telah mendorong Belanda berkembang sebagai negara industri. Sejalan dengan hal ini telah mendorong pula tampilnya kaum liberal yang didukung oleh para pengusaha. Oleh karena itu, mulai muncul perdebatan tentang pelaksanaan Tanam Paksa. 

Masyarakat Belanda mulai mempertimbangkan baik buruk dan untung ruginya Tanam Paksa. Timbullah pro dan kontra mengenai pelaksanaan Tanam Paksa. Pihak yang pro dan setuju Tanam Paksa tetap dilaksanakan adalah kelompok konservatif dan para pegawai pemerintah. Begitu juga para pemegang saham perusahaan NHM (Nederlansche Handel Matschappij), yang mendukung pelaksanaan Tanam Paksa.

Nederlansche Handel Matschappij: perusahaan dagang yang didirikan oleh Raja William I di Den Haag pada 9 Maret 1824 sebagai promosi antara lain bidang perdagangan dan perusahaan pengiriman, dan memegang peran penting dalam mengembangkan perdagangan Belanda-Indonesia.

Sementara, pihak yang menentang pelaksanaan Tanam Paksa adalah kelompok masyarakat yang merasa kasihan terhadap penderitaan rakyat pribumi. Mereka umumnya kelompok-kelompok yang dipengaruhi oleh ajaran agama dan penganut asas liberalisme. 

Kaum liberal menuntut pelaksanaan Tanam Paksa di Hindia Belanda diakhiri. Hal tersebut didorong oleh terbitnya dua buah buku pada tahun 1860 yakni buku Max Havelaar tulisan Edward Douwes Dekker dengan nama samarannya Multatuli, dan buku berjudul Suiker Contractor(Kontrak-kontrak Gula) tulisan Frans van de Pute.Kedua buku ini memberikan kritik keras terhadap pelaksanaan Tanam Paksa. secara berangsur-angsur Tanam Paksa mulai dihapus dan mulai diterapkan sistem politik ekonomi liberal.

Hal ini juga didorong oleh isi kesepakatan di dalam Traktat Sumatera yang ditandatangani tahun 1871.Di dalam Traktat Sumatera itu antara lain dijelaskan bahwa Belanda diberi kebebasan untuk meluaskan daerahnya sampai ke Aceh.


No comments:

Post a Comment