Perang Melawan Keserakahan Kongsi Dagang
(abad ke-16 sampai abad ke-18)
1. Aceh Versus Portugis dan VOC
Setelah Malaka
jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, justru membawa hikmah bagi Aceh. Banyak
para pedagang Islam yang menyingkir dari Malaka menuju ke Aceh. Hal ini telah
mendorong Aceh berkembang menjadi bandar dan pusat perdagangan. Perkembangan
Aceh yang begitu pesat ini dipandang oleh Portugis sebagai ancaman. oleh karena
itu, Portugis berkehendak untuk menghancurkan Aceh.
Pada tahun 1523
Portugis melancarkan serangan ke Aceh di bawah pimpinan Henrigues, dan menyusul
pada tahun 1524 dipimpin oleh de Sauza. Beberapa serangan Portugis ini
mengalami kegagalan. Portugis terus mencari cara untuk melemahkan posisi Aceh
sebagai pusat perdagangan. Kapal-kapal Portugis selalu mengganggu kapal-kapal
dagang Aceh di manapun berada. Misalnya, pada saat kapal-kapal dagang Aceh
sedang berlayar di Laut Merah pada tahun 1524/1525 diburu oleh kapal-kapal
Portugis untuk ditangkap. Tindakan Portugis telah merampas kedaulatan Aceh yang
ingin bebas dan berdaulat berdagang dengan siapa saja
Langkah-langkah
Aceh dalam menghalau tentara Portugis, antara lain:
- Melengkapi kapal-kapal dagang Aceh dengan persenjataan, meriam dan prajurit
- Mendatangkan bantuan persenjataan, sejumlah tentara dan beberapa ahli dari Turki pada tahun 1567
- Mendatangkan bantuan persenjataan dari Kalikut dan Jepara
Pada masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1639), semangat juang mempertahankan
tanah air dan mengusir penjajahan asing semakin meningkat. Iskandar Muda
berusaha untuk melipatgandakan kekuatan pasukannya.
·
Angkatan lautnya
diperkuat dengan kapal-kapal besar yang dapat mengangkut 600-800 prajurit
- Pasukan kavaleri (pasukan berkuda)dilengkapi dengan kuda-kuda dari Persia, bahkan Aceh juga menyiapkan pasukan gajah dan milisi infanteri (pasukan muda yang berjalan kaki di sekeliling para ksatria yang menunggang kuda)
- Pada tahun 1629 Iskandar Muda melancarkan serangan ke Malaka. Menghadapi serangan kali ini Portugis sempat kewalahan
- Portugis harus mengerahkan semua kekuatan tentara dan persenjataan untuk menghadapi pasukan Iskandar Muda.
- Namun, serangan Aceh kali ini juga tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka
- Hubungan Aceh dan Portugis semakin memburuk. Bentrokan-bentrokan antara kedua belah pihak masih sering terjadi
- Portugis tetap tidak berhasil menguasai Aceh dan begitu juga Aceh tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka.
- Yang berhasil mengusir Portugis dari Malaka adalah VOC (Belanda)
2. Maluku Angkat Senjata
Portugis
berhasil memasuki Kepulauan Maluku pada tahun 1512. Mereka memusatkan
aktivitasnya di Ternate. Tidak lama berselang orang-orang Spanyol tahun 1521
juga memasuki Kepulauan Maluku dengan memusatkan kedudukannya di Tidore. Terjadilah
persaingan antara kedua belah pihak.Persaingan itu semakin tajam setelah
Portugis berhasil menjalin persekutuan dengan Ternate dan Spanyol bersahabat
dengan Tidore.
Pada tahun 1529
terjadi perang antara Tidore melawan Portugis. Penyebab perang ini karena
kapal-kapal Portugis menembaki jung-jung (kapal layar) dari Banda yang akan
membeli cengkeh ke Tidore. Tentu saja Tidore tidak dapat menerima tindakan
armada Portugis.
Dalam perang ini
Portugis mendapat dukungan dari Ternate dan Bacan, dan akhirnya Portugis
mendapat kemenangan. Dengan kemenangan ini Portugis menjadi semakin sombong dan
sering berlaku kasar terhadap penduduk Maluku.Upaya monopoli terus dilakukan.
Maka, wajar jika sering terjadi letupan-letupan perlawanan rakyat.
Untuk
menyelesaikan persaingan antara Portugis dan Spanyol dilaksanakan perjanjian damai,
yakni Perjanjian Saragosa. Dengan adanya Perjanjian Saragosa kedudukan Portugis
di Maluku semakin kuat dan juga semakin mengganggu kedaulatan kerajaan-kerajaan
yang ada di Maluku
Pada tahun 1565
muncul perlawanan rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Khaerun/Hairun. Penyebab
munculnya perlawanan antara portugis dan ternate, yaitu:
1. Portugis memonopoli maluku
2. adanya campur tangan Portugis dalam
urusan pemerintahan
3. Bangsa Portugis menyebarkan agama Kristen
Katolik
4. Kesombongan Portugis dalam memandang
rendah penduduk Maluku
Sultan Hairun
menyerukkan semua rakyat dari Papua sampai Jawa untuk angkat senjata melawan
kezaliman Portugis. Portugis mulai kewalahan dan menawarkan perundingan kepada
Sultan Khaerun. Dengan pertimbangan kemanusiaan, Sultan Khaerun menerima ajakan
Portugis. Perundingan dilaksanakan pada tahun 1570 bertempat di Benteng Sao
Paolo. Ternyata semua ini hanyalah tipu muslihat Portugis. Pada saat
perundingan sedang berlangsung, Sultan Hairun ditangkap dan dibunuh.
Setelah Sultan
Khaerun dibunuh, perlawanan dilanjutkan di bawah pimpinan Sultan Baabullah
(putera Sultan Hairun). Seluruh rakyat Maluku berhasil dipersatukan termasuk
Ternate dan Tidore untuk melancarkan serangan besar-besaran terhadap Portugis.
Akhirnya
Portugis dapat didesak dan pada tahun 1575 berhasil diusir dari Ternate. Orang-orang
Portugis kemudian melarikan diri dan menetap di Ambon sampai tahun 1605. Tahun
itu pula Portugis dapat diusir oleh VOC dari Ambon dan kemudian menetap di
Timor-Timur.
Perlawanan-perlawanan
muncul tahun 1635-1646 terjadi serangan sporadis dari rakyat Hitu yang dipimpin
oleh Kakiali dan Telukabesi. Pada Tahun 1650 perlawanan rakyat juga terjadi di
Ternate yang dipimpin oleh Kecili Said. Namun berbagai serangan itu selalu
dapat dipatahkan oleh kekuatan VOC yang memiliki peralatan senjata lebih
lengkap. Rakyat terus mengalami penderitaan akibat kebijakan monopoli
rempah-rempah yang disertai dengan Pelayaran Hongi (pelayaran bersenjata
lengkap yang di lakukan VOC untuk mengawasi jalannya monopoli agar mencegah
pelanggaran monopoli atau perdagangan gelap).
Pada tahun 1680,
VOC memaksakan sebuah perjanjian baru dengan penguasa Tidore. Kerajaan Tidore
yang semula sebagai sekutu turun statusnya menjadi vassal VOC (daerah
kekuasaan), dan sebagai penguasa yang baru diangkatlah Putra Alam sebagai
Sultan Tidore.Penempatan Tidore sebagai vassal atau daerah kekuasaan VOC telah
menimbulkan protes keras dari Pangeran Nuku. Akhirnya Nuku memimpin perlawanan
rakyat.
Terjadi perang
hebat antara rakyat Maluku di bawah pimpinan Pangeran Nuku melawan kekuatan
kompeni Belanda (tentara VOC). Sultan Nuku mendapat dukungan rakyat Papua di
bawah pimpinan Raja Ampat dan juga orang-orang Gamrange dari Halmahera (Pulau
tersebesar di Mauluku). Oleh para pengikutnya, Pangeran Nuku diangkat sebagai
sultan dengan gelar Tuan Sultan Amir Muhammad Syafiudin Syah. Sultan Nuku juga
berhasil meyakinkan Sultan Aharal dan Pangeran Ibrahim dari Ternate untuk
bersama-sama melawan VOC.
Bahkan dalam
perlawanan ini Inggris juga memberi dukungan terhadap Sultan Nuku. Belanda
kewalahan dan tidak mampu membendung ambisi Nuku untuk lepas dari dominasi
Belanda. Sultan Nuku berhasil mengembangkan pemerintahan yang berdaulat
melepaskan diri dari dominasi Belanda di Tidore sampai akhir hayatnya (tahun
1805).
3. Sultan Agung vs jp. coen
Sultan Agung
adalah raja yang paling terkenal dari Kerajaan Mataram, Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Mataram
mencapai zaman keemasan. Cita-cita Sultan Agung antara lain: mempersatukan
seluruh tanah Jawa, dan mengusir kekuasaan asing dari bumi Nusantara. Terkait
dengan cita-citanya ini maka Sultan Agung sangat menentang keberadaan kekuatan
VOC di Jawa. Apalagi tindakan VOC yang
terus memaksakan kehendak untuk
melakukan monopoli perdagangan membuat para pedagang Pribumi mengalami
kemunduran.
Oleh karena itu,
Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia. Ada beberapa alasan mengapa
Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia, yakni:
1.
Tindakan monopoli yang
dilakukan VOC
2.
VOC sering
menghalang-halangi kapal-kapal dagang Mataram
3. VOC menolak untuk
mengakui kedaulatan Mataram
4. Keberadaan VOC di
Batavia telah memberikan ancaman serius
yang akan berdagang ke Malaka bagi masa depan Pulau Jawa
Pada tahun 1628
telah dipersiapkan pasukan dengan segenap persenjataan dan perbekalan. Pada
waktu itu yang menjadi gubernur jenderal VOC adalah J.P. Coen. Sebagai pimpinan
pasukan Mataram adalah Tumenggung Baureksa.Tepat pada tanggal 22 Agustus 1628,
pasukan Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa menyerang Batavia. Pasukan Mataram berusaha membangun pos
pertahanan, tetapi kompeni VOC berusaha menghalang-halangi, sehingga
pertempuran antara kedua pihak tidak dapat dihindarkan. Di tengah-tengah
berkecamuknya peperangan itu pasukan Mataram yang lain berdatangan seperti
pasukan di bawah Sura Agul-Agul yang dibantu oleh Kiai Dipati Mandurareja dan
Upa Santa. Datang pula laskar orang-orang Sunda di bawah pimpinan Dipati Ukur.
Pasukan Mataram berusaha mengepung Batavia dari
berbagai tempat. Terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Mataram melawan tentara
VOC di berbagai tempat. Tetapi kekuatan tentara VOC dengan senjatanya jauh
lebih unggul sehingga dapat memukul mundur pasukan dari mataram. Tumenggung Baureksa sendiri gugur dalam
pertempuran itu. Dengan demikian serangan tentara Sultan Agung pada tahun 1628
itu belum berhasil. Sultan Agung tidak lantas berhenti dengan kekalahan yang
baru saja dialami pasukannya. Ia segera mempersiapkan serangan yang kedua.
Belajar dari kekalahan terdahulu Sultan Agung meningkatkan jumlah kapal dan
senjata. Ia juga membangun lumbung-lumbung beras untuk persediaan bahan makanan
seperti di Tegal dan Cirebon.
Tahun 1629
pasukan Mataram diberangkatkan menuju Batavia. Sebagai pimpinan pasukan Mataram
dipercayakan kepada Tumenggung Singaranu, Kiai Dipati Juminah, dan Dipati
Purbaya. Ternyata informasi persiapan pasukan Mataram diketahui oleh VOC.
Dengan segera
VOC mengirim kapal-kapal perang untuk menghancurkan lumbung-lumbung yang
dipersiapkan pasukan Mataram. Di Tegal tentara VOC berhasil menghancurkan 200
kapal Mataram, 400 rumah penduduk dan sebuah lumbung beras. Pasukan Mataram
pantang mundur, dengan kekuatan pasukan yang ada terus berusaha mengepung
Batavia, yang akhirnya berhasil mengepung dan menghancurkan Benteng Hollandia. Berikutnya
pasukan Mataram mengepung Benteng Bommel, tetapi gagal menghancurkan benteng
tersebut.
Pada saat
pengepungan Benteng Bommel, terpetik berita bahwa J.P. Coen meninggal.
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 21 September 1629. Dengan semangat juang
yang tinggi pasukan Mataram terus melakukan penyerangan. Dalam situasi yang
kritis ini pasukan Belanda semakin marah dan meningkatkan kekuatannya untuk
mengusir pasukan Mataram
Dengan
mengandalkan persenjataan yang lebih baik dan lengkap, akhirnya dapat
menghentikan serangan-serangan pasukan Mataram. Pasukan Mataram semakin melemah
dan akhirnya ditarik mundur kembali ke Mataram. Dengan demikian serangan Sultan
Agung yang kedua ini juga mengalami kegagalan. Perlawanan pasukan Sultan Agung
terhadap VOC memang mengalami kegagalan. Tetapi semangat dan cita-cita untuk
melawan dominasi asing di Nusantara terus tertanam pada jiwa Sultan Agung dan
para pengikutnya
Setelah Sultan
Agung meninggal tahun 1645, Sebagai pengganti Sultan Agung adalah Sunan
Amangkurat I. Ia memerintah pada tahun 1646 -1677. Ternyata Raja Amangkurat I
merupakan raja yang lemah dan bahkan bersahabat dengan VOC.Raja ini juga
bersifat reaksioner dengan bersikap sewenang-wenang kepada rakyat dan kejam
terhadap para ulama.Oleh karena itu, pada masa pemerintahan Amangkurat I itu
timbul berbagai perlawanan rakyat. Salah satu perlawanan itu dipimpin oleh
Trunajaya
4. Perlawanan Banten
Banten memiliki
posisi yang strategis sebagai bandar perdagangan internasional. Oleh karena itu
sejak semula Belanda ingin menguasai Banten, tetapi tidak pernah berhasil. Akhirnya
VOC membangun Bandar di Batavia pada tahun 1619. Terjadi persaingan antara
Banten dan Batavia memperebutkan posisi sebagai bandar perdagangan
internasional. Oleh karena itu, rakyat Banten sering melakukan
serangan-serangan terhadap VOC.
Tahun 1651,
Pangeran Surya naik tahta di Kesultanan Banten. Ia adalah cucu Sultan Abdul
Mufakhir Mahmud Abdul Karim, anak dari Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad yang wafat
pada 1650.Pangeran Surya bergelar Sultan Abu al-Fath Abulfatah. Sultan Abu
al-Fath Abdulfatah ini lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. la
berusaha memulihkan posisi Banten sebagai Bandar perdagangan internasional dan
sekaligus menandingi perkembangan di Batavia. Beberapa yang dilakukan misalnya
mengundang para pedagang Eropa lain seperti Inggris, Perancis, Denmark dan
Portugis.
Sultan Ageng
juga mengembangkan hubungan dagang dengan negara-negara Asia seperti Persia,
Benggala, Siam, Tonkin, dan Cina. Perkembangan di Banten ternyata sangat tidak
disenangi oleh VOC
Oleh karena itu,
untuk melemahkan peran Banten sebagai Bandar perdagangan, VOC sering melakukan
blokade. Jung-jung Cina dan kapal-kapal dagang dari Maluku dilarang meneruskan
perjalanan menuju Banten
Dalam rangka
memberi tekanan dan memperlemah kedudukan VOC, rakyat Banten juga melakukan
perusakan terhadap beberapa kebun tanaman tebu milik VOC. Akibatnya hubungan
antara Banten dan Batavia semakin memburuk. Menghadapi serangan pasukan Banten,
VOC terus memperkuat kota Batavia dengan mendirikan benteng-benteng pertahanan
seperti Benteng Noordwijk.
Sementara itu
untuk kepentingan pertahanan, Sultan Ageng memerintahkan untuk membangun
saluran irigasi yang membentang dari Sungai Untung Jawa sampai Pontang. Selain
berfungsi untuk meningkatkan produksi pertanian, saluran irigasi dimaksudkan
juga untuk memudahkan transportasi perang.
Pada masa
pemerintahan Sultan Ageng ini memang banyak dibangun saluran air/irigasi. Oleh
karena jasa-jasanya ini maka sultan digelari Sultan Ageng Tirtayasa (tirta
artinya air).
Pada tahun 1671
Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putra mahkota Abdulnazar Abdulkahar sebagai
raja pembantu yang lebih dikenal dengan nama Sultan Haji. Sebagai raja pembantu
Sultan Haji bertanggung jawab urusan dalam negeri, Sedangkan Sultan Ageng
Tirtayasa bertanggungjawab terhadap urusan luar negeri di bantu Puteranya yang
lain yaitu Pangeran Arya Purbaya. Pemisahan
urusan pemerintahan di Banten ini tercium oleh perwakilan VOC di Banten W.
Caeff. Ia kemudian mendekati dan menghasut Sultan Haji agar urusan pemerintahan
di Banten tidak dipisah-pisah dan jangan sampai kekuasaan jatuh ke tangan Arya
Purbaya
Sultan Haji juga
sangat khawatir, apabila dirinya tidak segera dinobatkan sebagai sultan, sangat
mungkin jabatan sultan itu akan diberikan kepada Pangeran Arya Purbaya. Tanpa
berpikir panjang Sultan Haji segera membuat persekongkolan dengan VOC untuk
merebut tahta kesultanan Banten. Timbullah pertentangan yang begitu tajam
antara Sultan Haji dengan Sultan Ageng Tirtayasa.
Dalam
persekongkolan tersebut VOC sanggup membantu Sultan Haji untuk merebut
Kesultanan Banten tetapi dengan empat syarat, yaitu :
1.
Banten harus
menyerahkan Cirebon kepada VOC
2.
Monopoli lada di Banten
dipegang oleh VOC dan harus menyingkirkan para pedagang Persia, India, dan Cina
3.
Banten harus membayar
600.000 ringgit apabila ingkar janji, dan
4.
Pasukan Banten yang
menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan segera ditarik kembali.
Dan Isi
perjanjian ini Acc oleh Sultan Haji. Pada tahun 1681 VOC atas nama Sultan Haji
berhasil merebut Kesultanan Banten. Istana Surosowan berhasil dikuasai. Sultan
Haji menjadi Sultan Banten yang berkedudukan di istana Surosowan. Sultan Ageng
kemudian membangun istana yang baru berpusat di Tirtayasa. Sultan Ageng
berusaha merebut kembali Kesultanan Banten dari Sultan Haji yang didukung VOC.
Pada tahun 1682
pasukan Sultan Ageng Tirtayasa berhasil mengepung istana Surosowan. Sultan Haji
terdesak dan segera meminta bantuan tentara VOC.Datanglah bantuan tentara VOC
di bawah pimpinan Francois Tack. Akhirnya Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa dapat
dipukul mundur dan terdesak hingga ke Benteng Tirtayasa.
Sultan Ageng
Tirtayasa akhirnya meloloskan diri bersama puteranya, pangeran Purbaya ke hutan
Lebak. Mereka masih melancarkan serangan sekalipun dengan bergerilya. Tentara
VOC terus memburu. Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya yang kemudian
bergerak ke arah Bogor. Baru setelah melalui tipu muslihat pada tahun 1683
Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap dan ditawan di Batavia sampai
meninggalnya pada tahun 1692.
Namun harus
diingat bahwa semangat juang Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya tidak
pernah padam. Sultan Ageng telah mengajarkan untuk selalu menjaga kedaulatan
negara dan mempertahankan tanah air dari dominasi asing. Hal ini terbukti
setelah Sultan Ageng Tirtayasa meninggal, perlawanan rakyat Banten terhadap VOC
terus berlangsung. Misalnya pada tahun 1750 timbul perlawanan yang dipimpin
oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus. Perlawanan ini ternyata sangat kuat sehingga VOC
kewalahan menghadapi serangan itu. Dengan susah payah akhirnya perlawanan yang
dipimpin Ki Tapa dan Ratu Bagus ini dapat dipadamkan
5.Perlawanan Goa
Kerajaan Goa
merupakan salah satu kerajaan yang sangat terkenal di Nusantara. Pusat
pemerintahannya berada di Somba Opu yang sekaligus menjadi pelabuhan Kerajaan
Goa. Goa anti terhadap tindakan monopoli perdagangan. Masyarakat Goa ingin
hidup merdeka dan bersahabat kepada siapa saja tanpa hak istimewa. Masyarakat
Goa senantiasa berpegang pada prinsip hidup sesuai dengan kata-kata “Tanahku
terbuka bagi semua bangsa”, “Tuhan menciptakan tanah dan laut, tanah
dibagikannya untuk semua manusia dan laut adalah milik bersama.” Dengan prinsip
keterbukaan itu maka Goa cepat berkembang.
Pelabuhan Somba
Opu memiliki posisi yang strategis dalam jalur perdagangan internasional.. Pelabuhan
Somba Opu telah berperan sebagai bandar perdagangan tempat persinggahan
kapal-kapal dagang dari timur ke barat atau sebaliknya.Dengan melihat peran dan
posisinya yang strategis, VOC berusaha keras untuk dapat mengendalikan Goa dan
menguasai pelabuhan Somba Opu serta menerapkan monopoli perdagangan.
Pada tahun 1634,
VOC melakukan blokade terhadap Pelabuhan Somba Opu, tetapi gagal karena
perahu-perahu Makasar yang berukuran kecil lebih lincah menyusup ke
pulau-pulau. Tanggal 7 Juli 1667, meletuslah perang Goa. Tentara VOC yang di
kepalai oleh Cornelis Janszoon Spelman di tambah orang Aru Palaka dan orang
Ambon (Jonker Van Manipa) pasukan VOC
menyerang goa dari berbagai penjuru.
Pertama pasukan
Hasanudin berhasil menghalau tentara VOC, tetapi karena persenjataan mereka
lebih lengkap akhirnya VOC dapat mengalahkan Hasanudin dengan ditandai adanya
Perjanjian Bongaya tanggal 18 November 1667, yang isinya yaitu:
1.
Goa harus mengakui hak
monopoli VOC
2.
Semua orang Barat,
kecuali Belanda harus meninggalkan wilayah Goa
3.
Goa harus membayar
biaya perang
Tetapi
Hasanuddin tidak mau melaksanakan isi perjanjian terebut karena tidak sesuai
dengan hati masyarakat Goa. Akhirnya pada tahun 1668 Hasanudin menghimpun
kekuatan lagi untuk menyerang VOC. Tetapi perlawanan tersebut dapat dipadamkan
oleh VOC, dengan terpaksa akhirnya Hasanudin melaksanakan isi perjanjian
Bongaya. Benteng Goa pun jatuh ke tangan VOC dan benteng tersebut akhirnya
diberi nama Benteng Rotterdam.
6. Orang-orang Cina Berontak
Sejak abad ke-5
orang-orang Cina sudah mengadakan hubungan dagang ke Jawa. Pada masa kerajaan
bercorak hindhu-budha dan islam pun, orang cina sudah tinggal di pesisir bahkan
mereka menikah dengan orang jawa.
VOC
sengaja mendatangkan orang Cina untuk ke Jawa agar mendorong kemajuan
perekonomian di Jawa. Banyak orang Cina yang datang ke Indonesia dengan keadaan
yang miskin. Untuk membatasi orang-orang Cina yang datang ke Batavia, VOC
menerapkan aturan yaitu mereka harus mempunyai surat ijin bermukim
(permissiebriefjes) atau disebut “surat pas”. Apabila mereka tidak mempunyai
surat izin, maka mereka akan dibuang ke Srilanka untuk dipekerjakan di kebun-kebun
milik VOC atau dikirim kembali ke negara asal mereka. Mereka diberi waktu 6
bulan untuk mengurus surat ijin tersebut, dan biayanya adalah 2 ringgit
perorang.
Dalam
pelaksanaannya mengurus surat ijin terjadi penyelewengan yaitu mereka disuruh
membayar dengan harga yang mahal
akibatnya banyak yang tidak memiliki surat ijin tersebut
7. Perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said
Perlawanan VOC
terhadap Mangkubumi dan Mas Said terjadi selama 20 tahun. Persahabatan antara
Pakubuwana II (Kerajaan Mataram) dan VOC menimbulkan kekecewaan pada Mas Said,
sehingga dia melakukan perlawanan. Raden Mas Said dulunya adalah seorang Gandek
Kraton (pegawai rendahan di Istana). Kemudian Raden Mas Said akhirnya
mengajukan kenaikan pangkat, pada peristiwa ini Mas Said mendapat hinaan dari
kepatihan karena dia juga dituduh sebagai komplotan pemberontakan orang Cina.
Mas Said
akhirnya menyusun strategi untuk melakukan perlawanan. Dia dibantu oleh R.
Sutawijaya dan Suradiwangsa. Dia menuju ke Nglaroh untuk memulai aksinya. Oleh
para pengikutnya Mas Said diangkat sebagai raja baru dengan gelar Pangeran
Adipati Anom Hamengku Negara Senopati Sudibyaning Prang. Hingga kini Mas Said
terkenal dengan sebutang Pangeran Sumbernyawa. Mas Said mendapatkan dukungan
dari masyarakat mataram sehingga membuat resah posisi Pakubuwana II sebagai
Raja di Mataram.
Pada tahun 1745,
Pakubuwana II memebrikan ultimatum bahwa barang siapa yang dapat menumpas
pemebrontakan Mas Said akan diberikan Tanah di Sukowati (wilayah sragen
sekarang). Mendengar Ultimatum, Pangeran Mangkubumi mencobanya untuk mengukur
kejujuran Pakubuwana II. Mangkubumi adalah adik Pakubuwana II. Mangkubumi
berhasil memberantas pemberontakan Mas Sad, tetapi Pakubuwana II ingkar janji
(karena bujukan dari patih Pringgalaya). Akhirnya terjadi perselisihan antara
Mangkubumi vs Pakubuwana II.
Dalam konflik
ini muncullah Van Imhoff (orang VOC) menghina dan menuduh bahwa Mangkubi terlalu
ambisi mencari kekuasaan. Tindakan VOC ini membuat Mangkubumi kecewa dan angkat
kaki dari istana, dan mulai melancarkan gerakan perlawanan terhadap VOC
sekaligus memberikan nasihat pada Pakubuwana II bahwa jangan mau didikte oleh
VOC.
Mangkubumi
akhirnya pergi ke Sukowati dan menemui Mas Said untuk mengajak kerjasama dalam
melawan VOC. Untuk memperkokoh kerjasama, Mas Said dijadikan mennatu oleh
Mangkubumi. Mas Said dan Mangkubumi sepakat
membagi wilayah perjuangan. Mas Said ( lokasinya di bagian timur, daerah
Surakarta ke selatan terus ke Madiun, Ponorogo dengan pusatnya Sukowat). Mangkubumi
(di bagian barat Surakarta terus ke barat dengan pusat di Hutan Beringin dan
Desa Pacetokan, dekat Pleret (termasuk daerah Yogyakarta sekarang). Mangkubumi
membawa pasukan 13 ribu prajurit dan 2.500 prajurit kavaleri.
Tahun 1749,
Pakubuwana II jatuh sakit dan dalam keadaan sakit ia terpaksa harus menandatangani
perjanjian dengan VOC. Resminya perjanjian itu di ttd tangal 11 Desember 1749
antara Pakubuwana II dan Baron van Hohendorff sebagai wakil VOC.
Isi perjanjian
tersebut yaitu:
1.
Pakubuwana II
menyerahkan Kerajaan Mataram baik secara de facto maupun de jure kepada VOC
2.
Hanya keturunan
Pakubuwana II yang berhak naik tahta, dan akan dinobatkan oleh VOC menjadi raja
Mataram dengan tanah Mataram sebagai pinjaman dari VOC
3.
Putera mahkota akan
segera dinobatkan
9 hari setelah
penandatanganan Pakubuwana II meninggal tepatnya tanggal 15 Desember 1749. Baron
Van Hohendorff akhirnya mengangkat putera mahkota sebagai Pakubuwana III. Perjanjian
tersebut sebuah tragedi. Perlawanan Mangkubumi berakhir setelah tercapai
perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755. Isi pokok perjanjian Giyanti
adalah Mataram harus dibagi 2 yaitu wilayah Barat (Yogyakarta) diberikan kepada
Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan hamengkubuwono I dan Bagian Timur
(Surakarta) tetap diperintah oleh Pakubuwana III. Sementara perlawanan Mas Said
berakhir setelah perjanjian Salatiga tanggal 17 Maret 1757 (isinya : Mas Said
diangkat sebagai penguasa di sebagian wilayah Surakarta dengan gelar Pangeran
Adipati Arya Mangkunegara I).
No comments:
Post a Comment